Disusun Oleh :
Ahmada selfia : 18511103
Fajar Maulana : 12511635
Keren Hellery : 13511933
Hadi Rachmatullah
: 13511133
Sejarah
Terbentuknya Teori Psikoanalisa
Salah satu aliran
utama dalam sejarah psikologi adalah teori psikoanalitik Sigmund Freud.
Psikoanalisis adalh sebuah model perkembangan kepribadian, filsafat tentang
sifat manusia, dan metode psikoterapi. Secara historis psikoanalisis adalah
aliran pertama dari tiga aliran utama psikologi. Yang kedua behaviorisme,
sedangkan yang ketiga adalah psikologi eksistensial – humanistik.
Menurut Corey
(2005:13), sumbangan-sumbangan utama yang bersejarah dari teori-teori dan
praktek psikoanalitik mencakup :
1.
Kehidupan mental individu menjadi bisa dipahami, dan pemahaman terhadap sifat
manusia bisa diterapkan pada peredaan penderitaan manusia.
2.
Tingkah laku diketahui sering ditentukan oleh faktor-faktor tak sadar.
3.
Perkembangan pada masa dini kanak-kanak memiliki pengaruh yang kuat
terhadap kepribadian dimasa dewasa.
4.
Teori psikoanalitik menyediakan kerangka kerja yang berharga untuk
memahami cara-cara yang digunakan oleh individu dalam mengatasi kecemasan
dengan mengandalkan adanya mekanisme-mekanisme yang bekerja untuk menghindari
luapan kecemasan.
5.
Pendekatan psikoanalitik telah memberikan cara-cara mencari keterangan
dari ketaksadaran melalui analisis atas mimpi-mimpi, resistensi-resistensi, dan
transferensi-transferensi.
Menurut pendangan
psikoanalitik, struktur kepribadian terdiri dari tiga sistem atau aspek, yaitu:
Id (Das Es), Ego (Das Ich), dan Super Ego (Das Ueber Ich).
Id (Das Es)
Menurut Suryabrata
(2005:125) aspek ini adalah aspek biologis dan merupakan sistem yang original
di dalam kepribadian. Dari aspek inilah kedua aspek yang lain tumbuh. Freud
menyebutnya juga realitas psikis yang sebenar-benarnya, oleh karena itu Das Es
itu merupakan dunia batin atau subyektif manusia, dan tidak mempunyai hubungan
langsung dengan dunia obyektif. Das Es berisikan hal-hal yang dibawa sejak
lahir (unsur-unsur biologis), termasuk insting-insting. Das Es merupakan
“reservoir†energi psikis yang menggerakkan Das Ich
dan Das Ueber Ich.
Dengan diatur oleh asas
kesenangan yang diarahkan pada pengurangan tegangan, penghindaran kesakitan,
dan perolehan kesenangan, Id bersifat tidak logis, amoral, dan didorong oleh
satu kepentingan: memuaskan kebutuhan-kebutuhan naluriah sesuai dengan asas kesenangan.
Id tidak pernah matang dan selalu menjadi anak manja dari kepribadian, tidak
berpikir, dan hanya menginginkan atau bertindak serta Id bertindak dengan tidak
sadar (Corey, 2005:14).
Ego (Das Ich)
Menurut Suryabrata
(2005:126) aspek ini adalah aspek psikologis daripada kepribadian dan timbul
karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan dunia kenyataan
(realita). Orang yang lapar mesti perlu makan untuk menghilangkan tegangan yang
ada dalam dirinya. Ini berarti bahwa organisme harus dapat membedakan antara
khayalan tentang makanan dan kenyataan tentang makanan. Disinilah letak
perbedaan yang pokok antara Das Es (Id) dan Das Ich (Ego), yaitu kalau Das Es
itu hanya mengenal dunia subyektif (dunia batin), maka Das Ich dapat membedakan
sesuatu yang hanya ada di dalam batin dan sesuatu yang ada di dunia luar (dunia
obyektif, dunia realitas).
Superego (Das
Ueber Ich)
Menurut Suryabrata (2005:127) aspek
sosiologi kepribadian, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta
cita-cita masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya,
yang dimasukkan (diajarkan) dengan berbagai perintah dan larangan. Das Ueber
Ich lebih merupakan kesempurnaan daripada kesenangan, karena itu Das Ueber Ich
dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian.
Superego berfungsi menghambat impuls-impuls Id. Kemudian, sebagai
internalisasi standar-standar orang tua dan masyarakat, superego berkaitan
dengan imbalan-imbalan dan hukuman-hukuman. Imbalan-imbalannya adalah perasaan
bangga dan mencintai diri, sedangkan hukuman-hukumannya adalah
perasaan-perasaan berdosa dan rendah diri (Corey, 2005: 15)
Mekanisme
Pertahanan Ego
Di bawah tekanan kecemasan yang berlebihan, ego
kadang-kadang terpaksa menempuh cara-cara ekstrem untuk menghilangkan tekanan.
Cara-cara itu disebut dengan mekanisme pertahanan.
Penyangkalan
Penyangkalan
adalah pertahanan melawan kecemasan dengan “ menutup mata “ terhadap
keberadaan kenyataan yang mengancam. Individu menolak sejumlah aspek kenyataan
yang membangkitkan kecemasan. Kecemasan atas kematian orang yang dicintai,
misalnya sering dimanifestasikan oleh fakta penyangkalan terhadap kematian.
Represi
Represi adalah
melupakan isi kesadaran yang traumatis atau bisa membangkitkan kecemasan,
mendorong kenyataan yang tidak bisa diterima kepada ketaksadaran, atau bisa
menjadi tidak menyadari hal-hal yang menyakitkan.
Proyeksi
Proyeksi adalah
mengalamatkan sifat sifat tertentu yang tidak bisa diterima oleh ego kepada
orang lain. Seorang melihat pada diri orang lain hal-hal yang tidak disukai dan
ia tidak bisa menerima adanya hal-hal itu pada diri sendiri. Jadi, proyeksi,
seorang akan mengutuk orang lain karena “kejahatannya†dan menyangkal memiliki dorongan jahat
seperti itu. Untuk menghindari kesakitan karena mengakui bahwa di dalam dirinya
terdapat dorongan yang dianggap jahat, ia memisahkan diri dari kenyataan ini.
Formasi reaksi
(pembentukan)
Formasi reaksi
adalah melakukan tindakan yang berlawanan dengan hasrat-hasrat tak sadar. Jika
perasaan yang lebih dalam menimbulkan ancaman, maka seseorang menampilkan
tingkah laku yang berlawanan guna menyangkal perasaan-perasaan yang bisa
menimbulkan ancaman itu. Contohnya, seorang ibu yang memiliki perasaan menolak
terhadap anaknya, karena adanya perasaan berdosa, ia menampilkan tingkah laku
yang sangat berlawanan, yakni terlalu melindungi atau “terlalu mencintai†anaknya. Orang yang menunjukkan sikap
menyenangkan yang berlebihan atau terlalu baik boleh jadi berusaha menutupi
kebencian dan perasaan-perasaan negatifnya.
Fiksasi
Fiksasi maksudnya
adalah menjadi “terpaku†pada tahap-tahap perkembangan yang lebih awal karena
mengambil langkah ke tahap selanjutnya bisa menimbulkan kecemasan. Anak yang
terlalu bergantung menunjukkan pertahanan berupa fiksasi.
Regresi
Regresi adalah
melangkah mundur ke fase perkembangan yang lebih awal yang tuntutan-tuntutannya
tidak terlalu besar. Contohnya seorang anak yang takut sekolah memperlihatkan
tingkah laku infantil seperti menangis, mengisap ibu jari, bersembunyi, dan
menggantungkan diri pada guru. Atau, ketika adiknya lahir, seorang anak kembali
menunjukkan bentuk-bentuk tingkah laku yang kurang matang.
Rasionalisasi
Rasionalisasi
adalah menciptakan alasan-alasan yang â€baik†guna menghindarkan ego dari cedera; memalasukan diri
sehingga kenyataan yang mengecewakan menjadi tidak begitu menyakitkan. Orang
yang tidak memperoleh kedudukanyang sesungguhnya diinginkannya. Atau, seorang
pemuda yang ditinggalkan kekasihnya, guna menyembuhkan ego-nya yang terluka ia
menghibur diri bahwa si gadis tidak berharga dan bahwa dirinya memang akan
menendangnya.
Sublimasi
Sublimasi adalah
menggunakan jalan keluar yang lebih tinggi atau yang secara sosial lebih dapat
diterima bagi dorongan-dorongannya. Contohnya dorongan dorongan agresif yang
ada pada seseorang disalurkan ke dalam aktivitas bersaing di bidang olahraga
sehingga dia menemukan jalan bagi pengungkapan perasaan agresifnya, dan sebagai
tambahan dia bisa memperoleh imbalan apabila berprestasi dibidang olahraga itu.
Displacement
Displacement
adalah mengarahkan energi kepada objek atau orang lain apabila objek asal atau
orang yang sesungguhnya, tidak bisa dijangkau. Seseorang anak yang ingin
menendang orang tuanya kemudian menendang adiknya, atau jika adiknya tidak ada,
menendang kucing.
Tapi, Pertahanan
yang pokok adalah represi, proyeksi, pembentukan reaksi, fiksasi, dan regresi
(Supratiknya, 1993: 86).
Tujuan-tujuan
Terapeutik
Tujuan terapi
psikoanalitik adalah membentuk kembali struktur karakter individual dengan
jalan membuat kesadaran yang tak disadari di dalam diri klien. Proses
terapeutik difokuskan pada upaya mengalami kembali pengalaman-pengalaman masa
kanak-kanak. Pengalaman-pengalaman masa lampau di rekonstruksi, dibahas,
dianalisis, dan ditafsirkan dengan sasaran merekonstruksi kepribadian. Terapi
psikoanalitik menekankan dimensi afektif dari upaya menjadikan ketaksadaran
diketahui. Pemahaman dan pengertian intelektual memiliki arti penting tetapi
perasaan-perasaan dan ingatan-ingatan yang berkaitan dengan pemahaman diri lebih
penting lagi (Corey, 2005: 38).
Fungsi dan Peran
Terapis
Karakteristik
psikoanalisis adalah terapis atau analis membiarkan dirinya anonim serta hanya
berbagi sedikit perasaan dan pengalaman sehingga klien memproyeksikan dirinya
kepada analis. Proyeksi-proyeksi klien yang menjadi bahan terapi, ditafsirkan
dan dianalisis. Analis terutama berurusan dengan usaha membantu klien dalam
mencapai kesadaran diri, kejujuran, keefektifan dalam melakukan hubungan
personal, dalam menangani kecemasan secara realistis, serta dalam memperoleh
kendali atas tingkah laku yang impulsif dan irasional. Fungsi utama analis
adalah mengajarkan arti proses-proses ini kepada klien sehingga klien mampu
memperoleh pemahaman terhadap masalah-masalahnya sendiri, mengalami peningkatan
kesadaran atas cara-cara berubah (Corey, 2005: 38-39).
Hubungan antara
Terapis dan Klien
Hubungan klien
dengan analis dikonseptualkan dalam proses transferensi yang menjadi inti
pendekatan psikoanalitik. Transferensi mendorong klien untuk mengalamakan pada
analis “urusan yang tak selesaiâ€, yang terdapat dalam hubungan klien di masa lampau dengan
orang yang berpengaruh. Proses pemberian treatment mencakup rekonstruksi klien
dan menghidupkan kembali pengalaman- pengalaman masa lampaunya. Transferensi
terjadi pada saat klien membangkitkan kembali konfik-konflik masa dininya yang
menyagkut cinta, seksual, kebencian, kecemasan, dan dendamnya, membawa
konflik-konflik itu ke saat sekarang, mengalaminya kembali, dan
menyangkutkannya pada analis.
Jika terapi
diinginkan memiliki pengaruh menyembuhkan, maka hubungan transferensi harus
digarap. Proses penggarapan melibatkan eksplorasi oleh klien atas
kesejajaran-kesejajaran antara pengalaman masa lampau dan pengalaman masa
kininya. Kloien memiliki banyak kesempatan untuk melihat cara-cara dirinya
mengejawatahkan konflik-konflik inti dan pertahan-pertahanan intinya dalam
kehidupan sehari-hari. Karena dimensi utama dari proses penggarapan itu adalah
hubungan transferensi, yang membutuhkan waktu untuk membangunnya serta
membutuhkan tambahan waktu untuk memahami dan melarutkannya, maka
penggarapannya memerlukan jangka waktu yang panjang bagi keseluruhan proses
terapeutik.
Jika analis
mengembangkan pandangan-pandangan yang tidak selaras yang berasal dari
konflik-konfliknya sendiri, maka akan terjadi kontratransferensi.
Kontratransferensi ini bisa terdiri dari perasaan tidak suka atau keterikatan
dan keterlibatan yang berlebihan. Kontratransferensi dapat mengganggu kemajuan
terapi karena reaksi-reaksi dan masalah- masalah klien. Analis diharapkan agar
relatif objektif dalam menerima kemarahan, cinta, bujukan, kritik, dan
peraaan-perasaan lainnya yang kuat dari klien.sebagian besar program latihan
psikoanalitik mewajibkan calon analis untuk menjalani analis yang intensif
sebagai klien. Analis dianggap telah berkembang mencapai taraf dimana
konflik-konflik utamanya sendiri terselesaikan, dan karena dia mampu memisahkan
kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalahnya sendiri dari situasi terapi. Jika
analis tidak mampu mengatasi kontratransferensi, maka dianjurkan agar kembali
menjalankan analis pribadi.
Sebagai hasil
hubungan hasil terapeutik, khususnya penggarapan situasi transferensi, klien
memperoleh pemahaman terhadap psikodinamika-psikodinamika tak sadarnya.
Kesadaran dan pemahaman atas bahan yang direpresi merupakan landasan bagi
proses pertumbuhan analitik. Klien mampu memahami asosiasi antara
pengalaman-pengalaman masa lampaunya dengan kehidupan sekarang. Pendekatan
psikoanalitik berasumsi bahwa kesadaran diri ini bisa secara otomatis mengarah
pada perubahan kondisi klien.
Penerapan
Teknik-Teknik dan Prosedur-Prosedur Terapeutik
Lima teknik dasar
terapi psikoanalitik adalah: asosiasi bebas, penafsiran, analisis mimpi atas
resistensi, dan analisis atas transferensi.
1) Asosiasi
Bebas
Asosiasi bebas adalah suatu metode pemanggilan kembali
pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan
dengan situasi traumatik di masa lampau yang dikenal dengan sebutan katarsis.
Selama proses asosiasi bebas berlangsung, tugas analis adalah mengenali bahan
yang direpres dan dikurung di dalam ketaksadaran. Penghalangan-penghalangan
atau pengacauan-pengacauan oleh klien terhadap asosiasi-asosiasi merupakan
isyarat bagi adanya bahan yang membangkitkan kecemasan. Analis menafsirkan
bahan itu dan menyampaikannya kepada klien, membimbing klien ke arah
peningkatan pemahaman atas dinamika-dinamika yang mendasarinya, yang tidak
disadari oleh klien.
2)
Penafsiran
Penafsiran adalah
suatu prosedur dasar dalam menganalisis asosiasi-asosiasi bebas, mimpi-mimpi,
resistensi-resistensi dan transferensi-transferensi. Prosedurnya terdiri atas
tindakan-tindakan analis yang menyatakan, menerangkan, bahkan mengajari klien
makna-makna tingkah laku yang dimanifestasikan oleh mimpi-mimpi, asosiasi
bebas, resistensi-resistensi, dan oleh hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi
penafsiran-penafsiran adalah mendorong ego untuk mengasimilasi bahan-bahan baru
dan mempercepat proses penyingkapan bahan tak sadar lebih lanjut. Dengan perkataan
lain, analis harus bisa menafsirkan bahan yang belum terlihat oleh klien,
tetapi yang oleh klien bisa diterima dan diwujudkan sebagai miliknya.
3) Analisis
Mimpi
Analisis mimpi adalah sebuah prosedur yang penting untuk menyingkap bahan
yang tak disadari dan memberikan kepada klien pemahaman atas beberapa area
masalah yang tidak terselesaikan. Freud memandang mimpi-mimpi sebagai “jalan
istimewa menuju ketaksadaranâ€, sebab melalui mimpi-mimpi itu hasrat-hasrat,
kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan-ketakutan yang tak disadari diungkap.
Mimpi-mimpi memiliki dua taraf isi, yaitu laten dan isi manifes. Isi
laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan, tersembunyi, simbolik dan tak
disadari. Karena begitu mengancam dan menyakitkan, dorongan-dorongan seksual
dan agresif tak sadar yang merupakan isi laten ditransformasikan ke dalam isi
manifes yang lebih dapat diterima, yakni impian sebagaimana yang tampil pada si
pemimpi. Proses transformasi is laten mimpi ke dalam isi manifes yang kurang
mengancam itu disebut kerja mimpi. Tugas analis adalah menyingkap makna-makna
yang disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat pada isi manifes
mimpi, selama jam analitik, analis bisa meminta klien untuk mengasosiasikan
secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian guna menyingkap makna-makna yang
terselubung.
4) Analisis
dan Penafsiran Resistensi
Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah
klien mengemukakan bahan yang tak disadari. Freud memandang resistensi sebagai
dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai pertahanan terhadap
kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat jika klien sadar atas
dorongan-dorongan dan perasaan-perasaan depresi itu. Resistensi ditunjukkan
untuk mencegah bahan yang mengancam memasuki ke kesadaran, analis harus
menunjukannya, dan klien harus menghadapinya jika dia mengharapkan bisa
menangani konflik-konflik secara realistis.
Resistensi-resistensi bukanlah hanya sesuatu yang harus diatasi. Karena
merupakan perwujudan dari pendekatan-pendekatan defensif klien yang biasa dalam
kehidupan sehari-harinya, resistensi-resistensi harus dilihat sebagai alat
bertahan terhadap kecemasan, tetapi menghambat kemampuan klien untuk mengalami
kehidupan yang lebih memuaskan.
5) Analisis
dan Penafsiran Transferensi
Transferensi mengejawantahkan dirinya dalam proses terapeutik ketika
“urusan yang tak selesai†di masa lampau klien dengan orang-orang yang berpengaruh
menyebabkan dia mendistorsi masa sekarang dan bereaksi terhadap analis
sebagaimana dia bereaksi terhadap ibu atau ayahnya. Analisis transferensi
adalah teknik yang utama dalam psikoanalisis, sebab mendorong klien untuk
menghidupkan kembali masa lampaunya dalam terapi. Penafsiran hubungan
transferensi juga memungkinkan klien mampu menembus: konflik-konflik masa
lampau yang tetap dipertahankannya hingga sekarang dan yang menghambat
pertumbungan emosionalnya. Singkatnya efek-efek psikopatologis dari hubungan
masadini yang tidak diinginkan, dihambat oleh penggarapan atas konflik
emosional yang sama yang terdapat dalam hubungan terapeutik dengan analis.
Contoh kasus
:
Contoh kasus 1
klien pernah
mengalami trauma diperkosa oleh pamannya sehingga sangat membenci pamannya dan
berusaha melupakannya. Terapis mencoba menggali informasi dengan membuat klien
mengingatnya sehingga memancing emosi klien maka klien diberikan katarsis
(pelampiasan) yaitu sebuah ruangan dimana klien dapat mengekspresikan
kemarahannya seperti berteriak sekeras-kerasnya didalam ruangan katarsis atau
meninju boneka.
Ini merupakan
contoh kasus dari asosiasi bebas dimana klien dibiarkan untuk memunculkan
ketidaksadarannya. Hal ini juga berkaitan dengan proses katarsis.
Anonim. (2009). PSIKOTERAPI. (http://psychologygroups.blogspot.com/2009/03/psikoterapi.html). (Diakses tanggal 21 Mei 2014).
Contoh kasus 2
Kasus yang kedua
adalah tentang fobia. Semua penanganan psikoanalisis terhadap fobia berupaya
mengungkap konflik-konflik yang ditekan yang diasumsikan mendasari ketakutan
ekstrem dan karakteristik penghindaran dalam gangguan ini. Karena fobia
dianggap sebagai simtom dari konflik-konflik yang ada di baliknya, fobia
biasanya tidak secara langsung ditangani. Memang, upaya langsung untuk
mengurangi penghindaran fobik dikontraindikasikan karena fobia diasumsikan
melindungi orang yang bersangkutan dari berbagai konflik yang ditekan yang
terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
Dalam berbagai
kombinasi analis menggunakan berbagai teknik yang dikembangkan dalam tradisi
psikoanalisis untuk membantu mengangkat represi. Dalam asosiasi bebas analis
mendengarkan dengan penuh perhatian apa yang disebutkan pasien terkait dengan
setiap rujukan mengenai fobia. Analis juga berupaya menemukan berbagai petunjuk
terhadap penyebab fobia yang ditekan dalam isi mimpi yang tampak jelas. Apa
yang diyakini analis mengenai penyebab yang ditekan tersebut tergantung pada
teori psikoanalisis tertentu yang dianutnya. Seorang analis ortodoks akan
mencari konflik-konflik yang berkaitan dengan seks arau agresi, sedangkan
analis yang menganut teori interpersonal dari Arieti akan mendorong pasien
untuk mempelajari generalisasi ketakutannya terhadap orang lain.
Anonim. (2011). Fobia. (http://phobia-disorder.blogspot.com/p/prevensi.html). (Diakses tanggal 21 Mei 2014).
Contoh kasus 3
Saya memiliki
teman dekat dimana dari kecil dia adalah anak yang penakut akan hal-hal gaib.
Sehingga, semasa kecil dia selalu takut untuk menonton film seram. Ditambah
lagi mendengar cerita seram dari orang-orang terdekatnya. Namun hal itu tetap
dia lakukan. Sampai-sampai dia pernah terbawa mimpi akibat menonton film seram
yang menyebabkan dia ngompol karena rasa takut yang dia rasakan. Disamping itu,
dia juga termasuk anak yang sangat aktif dalam melakukan suatu aktivitas.
Setiap pulang sekolah dia bermain bersama teman-teman. Namun, hal itu membuat
ayahnya marah. Karena setiap pulang sekolah dia suka bermain, yang seharusnya
tidur siang. Sehingga keniginan untuk bermain sering tertunda. Jika ayahnya
tidak dirumah dia suka bermain. Begitu pula sebaliknya, jika beliau ada dirumah
pastinya dia tidak boleh keluar dan disuruh tidur siang. Itu adalah kasus yang
teman saya alami dari umur 6- 10 tahun. Sehingga, pada tahun-tahun tersebut perkembangan
kepribadian teman saya mengalami gangguan yang menyebabkan dirinya berperilaku
sama pada tahun sebelumnya (terjadi regresi).
pembahasan :
Kasus yang teman
saya alami adalah mengompol sewaktu berusia 6-10 tahun akibat rasa takut akan
hal-hal gaib dan tertundanya melakukan aktivitas yang aktif seperti bermain
hingga terbawa mimpi. Kasus tersebut saya hubungkan dengan teori psikanalisis
oleh Sigmund Freud khususnya mengenai analisis mimpi. Freuds bekerja sangat
dipengaruhi orang-orang ahli analisis mimpi. Bukunya The Interpretation of
Dream (Die Traumdeutung) pertama kali diterbitkan tahun 1899. Di sini, ia
menjelaskan bahwa mimpi sering dikaitkan dengan keinginan-pemenuhan.
Dia menjelaskan
bahwa analisis mimpi perlu dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi pada pemimpi
dalam kehidupan nyata. Terutama untuk peristiwa yang terjadi pada hari
sebelumnya. Sebagian besar mencerminkan interpretasi mimpinya ketakutan,
keinginan dan emosi yang ada dalam pikiran bawah sadar kita. Bahkan mimpi
negatif dapat ditafsirkan sebagai peristiwa yang pemimpi berharap tidak akan
terjadi. Hal ini terjadi pada teman saya, karena setiap menonton dan mendengar
hal-hal yang gaib membuat dirinya ketakutan hingga terbawa ke dalam mimpi dan
mengompol yang tidak dia harap akan terjadi.
Definisi Mimpi
Menurut Freud, mimpi adalah penghubung antara kondisi bangun dan tidur.
Baginya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya dari
keinginan-keinginan yang terlarang diungkapkan dalam keadaan terjaga. Jika
Freud seringkali mengidentifikasi mimpi sebagai hambatan aktivitas mental tak
sadar dalam mengungkapkan sesuatu yang dipikirkan individu, beriringan dengan
tindakan psikis yang salah, selip bicara (keprucut), maupun lelucon.
Pada dasarnya
hakikat mimpi bagi psikoanalisis hanyalah sebentuk pemenuhan keinginan
terlarang semata. Dikatakan oleh Freud (dalam Calvin S.Hal & Gardner
Lindzaey, 1998) bahwa dengan mimpi, seseorang secara tak sadar berusaha
memenuhi hasrat dan menghilangkan ketegangan dengan menciptakan gambaran tentang
tujuan yang diinginkan, karena di alam nyata sulit bagi kita untuk
mengungkapkan kekesalan, keresahan, kemarahan, dendam, dan yang sejenisnya
kepada obyek-obyek yang menjadi sumber rasa marah, maka muncullah dalam
keinginan itu dalam bentuk mimpi. (tertundanya pemenuhan keinginan teman saya
untuk bermain bersama teman-teman).
Analisis Mimpi,
digunakan oleh Freud dari pemahamannya bahwa mimpi merupakan pesan alam bawah
sadar yang abstrak terhadap alam sadar, pesan-pesan ini berisi keinginan,
ketakutan dan berbagai macam aktivitas emosi lain, hingga aktivitas emosi yang
sama sekali tidak disadari. Sehingga metode Analisis Mimpi dapat digunakan
untuk mengungkap pesan bawah sadar atau permasalahan terpendam, baik berupa
hasrat, ketakutan, kekhawatiran, kemarahan yang tidak disadari karena ditekan
oleh seseorang. Ketika hal masalah-masalah alam bawah sadar ini telah berhasil
diungkap, maka untuk penyelesaian selanjutnya akan lebih mudah untuk
diselesaikan.
Intan. (2009). Analisis Mimpi. (http://intanpsikologi.wordpress.com/2009/12/10/analisis-mimpi-sigmund-freud/). (Diakses tanggal 21 Mei 2014).
Contoh kasus 4
Klien seorang
perempuan, 26 tahun dengan gangguan skizofrenia paranoid dan diterapi
menggunakan pendekatan psikoanalisis dan teknik yang digunakan adalah teknik
asosiasi bebas.
Pada sesi I ini terapis dan klien membangun komunikasi yang
nyaman dan membangun kepercayaan. Setelah terbentuknya rasa kepercayaan dan
dukungan yang lebih besar, terapis mulai mendorong klien untuk mengkaji
berbagai hubungan Interpersonalnya. Kemudian klien diminta untuk mengungkapkan
apa saja (pikiran dan perasaan) yang terlintas dalam pikirannya saat itu tanpa
ada hal-hal yang disensor (moment catarsis). Dan terapis membantu klien untuk
menganalisa mengenai hal-hal yang dikatarsiskan. Setelah itu terapis membantu
dan membimbing klien untuk bisa insigth. Setelah itu terus menerus menginterpretasikan
dan mengidentifikasikan masalah klien. Kemudian berusaha mengajak klien
merealisasikan hal-hal yang didapat dari insigth.
Pada sesi II
yaitu teknik asosiasi bebas. Pada sesi ini Klien diminta untuk mengungkapkan
apa saja (pikiran dan perasaan) yang terlintas dalam pikirannya saat ini tanpa
ada hal yang disensor (katarsis). Terapi membantu klien menganalisa mengenai
hal-hal yang dikatarsiskan, kemudian terapis membimbing klien untuk insight,
dengan terus-menerus menginterpretasi dan mengidentifikasi masalah klien dan
mkemudian mengajak klien merealisasikan hal yang didapatkan dari insight.
Sumber:
Corey, Gerald. (2005). Teori dan Praktek KONSELING & PSIKOTERAPI. Bandung: PT Refika
Aditama.
Hall, Calvin.,
& Gardner Lindzey. (1993). Teori-Teori Psikodinamik (klinis), (Penerjemah: A.
Supratiknya). Yogyakarta: Kanisius.
Selvera, Nidya Rizky. (2013). Teknik asosiasi bebas dan psikoedukasi
untuk mengenali gejala penderita skizofrenia paranoid. Jurnal Procedia
Studi Kasus dan Intervensi Psikologi Volume 1.
Suryabrata, S. (2005). Psikologi Kepribadian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.